Analisis Pilgub NTT 2024: Head to Head Ansy Lema Vs Melki Laka Lena?

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
20 June 2024 04:00
Foto kolase Melki Laka Lena dan Yohanis Fransiskus Lema. (Instagram/melkilakalena.official& ansy.lema)
Foto: Kolase foto Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena (kiri) dan Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Yohanis Fransiskus Lema (kanan). (Instagram/melkilakalena.official& ansy.lema)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemungutan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak tahun ini akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Salah satu pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang menarik untuk dicermati adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).



Sebagaimana pilkada serentak lainnya, pendaftaran pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur akan dimulai pada 27-29 Agustus 2024. Sejumlah nama yang disebut-sebut akan bertarung dalam pilgub mendatang pun mulai bermunculan di ranah publik antara lain Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Yohanis Fransiskus Lema, Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena, hingga Kepala Staf Korem 161/Wira Sakti Kupang Kolonel Cpl Simon Petrus Kamlasi.

Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Rabu (12/6/2024), pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang menjelaskan dinamika terkini perihal Pilgub NTT. Berikut adalah penjelasannya:

Dinamika politik
Ahmad menjelaskan, faktor pertama yang krusial dalam pilgub adalah komposisi kursi partai di DPRD NTT. Total kursi partai di DPRD NTT sebanyak 65, dengan demikian syarat minimum untuk mengusung pasangan calon adalah 13 kursi. Itu artinya, bisa ada lima pasangan calon jika syarat minimal itu terpenuhi.

Berikut perolehan kursi partai politik di DPRD Provinsi NTT:

PDIP: 9 kursi
Golkar: 9 kursi
Gerindra: 9 kursi
NasDem: 8 kursi
PKB: 7 kursi
Demokrat: 7 kursi
PSI: 6 kursi
PAN: 4 kursi
Hanura: 4 kursi
Perindo: 1 kursi
PKS: 1 kursi

Namun demikian, Ahmad memperkirakan hanya dua pasangan calon yang berpotensi tampil. "Partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, PDIP, NasDem, memiliki kursi relatif imbang, yaitu masing-masing 9 kursi. Mereka tidak bisa mengajukan paket sendiri, harus koalisi. Memang NasDem 8 kursi, PKB 7 kursi, PSI 6 kursi, dan seterusnya. Itu dari sisi parpol," ujarnya.

Dari sisi figur, Ahmad menilai ada pengaruh besar setelah eks gubernur Viktor Laiskodat menyatakan diri tidak akan mengikuti Pilgub NTT 2024. Hal itu membuat muncul figur-figur baru, baik dari sisi partisan seperti Ansy Lema dan Melki Laka Lena hingga dari sisi nonpartisan seperti mantan direktur utama MIND ID Orias Petrus Moedak.

Akan tetapi, menurut Ahmad, kunci utama tetap berada di parpol. "Seperti Golkar kan tidak buka pendaftaran. PDIP juga tidak buka pendaftaran, Gerindra juga tidak buka pendaftaran, NasDem buka pendaftaran tapi internal, maka muncul istri Viktor Laiskodat, Julie Laiskodat," kata Ahmad.

"Yang memiliki kursi di bawah 7 seperti PKB, PAN, Hanura, itu buka pendaftaran karena logika politik yang mereka pegang adalah partai yang punya sembilan kursi itu tidak mungkin maju sendiri tanpa koalisi. Koalisi mereka punya mekanisme membangun koalisi. Siapa yang daftar ke partai, artinya ada peluang untuk berkoalisi dengan partai-partai itu," lanjutnya.

Di titik tertentu, menurut Ahmad, partai-partai besar yang menggenggam kursi, tidak mau menyerahkannya kepada kandidat nonpartai. Imbasnya, kandidat nonpartai bergerilya mencoba meraih dukungan dari partai-partai yang membuka pendaftaran.

"Tetapi dia tidak bisa pegang satu partai pun sebagai jaminan. Karena ketika dia didukung partai A, dia harus ke partai B dan didukung. Bisa saja partai 'mati di tangan' kalau dia tidak dapat koalisi. Ada kekhawatiran itu," kata Ahmad.

Pria asal Kupang itu lantas menjelaskan, ada wacana partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam Pilpres 2024 mengelompokkan diri menjadi satu kekuatan. Tren ini, menurut Ahmad, patut dicermati.

Sementara di PDIP, lanjut dia, ada dua figur yang mencuat, yaitu Ansy dan Emilia Juli Nomleni. Ansy pun mulai menyosialisasikan diri melalui baliho yang tersebar di sejumlah wilayah, termasuk di Kota Kupang. Akan tetapi, balihonya tidak menggunakan logo PDIP, melainkan hanya foto diri. Di sisi lain, Emi selaku ketua DPD PDIP NTT yang juga ketua DPRD PDIP NTT, dianggap berhasil lantaran PDIP memenangi dua pileg secara berturut-turut.

"Sehingga ketika bicara Ansy dan Emi, Ansy nonstruktural karena bukan pengurus partai meskipun anggota DPR RI dari PDIP. Sementara Emi secara struktural punya dan punya andil dalam pemenangan pileg. Karena itu di dalam PDIP akhirnya masih semacam belum menemukan titik di mana posisi kader PDIP yang akan didorong karena persoalan tadi," ujar Ahmad.

Sedangkan di Golkar, dia menilai Melki lebih aman karena posisinya sebagai ketua DPD Golkar NTT. Kemudian Gerindra tidak ada figur yang kuat lantaran mantan wakil gubernur NTT Esthon L Foenay ingin fokus di DPR RI. Untuk NasDem, rekomendasi telah diberikan kepada Kepala Staf Korem 161/Wira Sakti Kupang Simon Petrus Kamlasi.

Efek Survei
Beberapa waktu lalu, lembaga survei Charta Politika merilis hasil survei bertajuk 'Preferensi Politik dan Sosial Masyarakat NTT'. Dari lima nama yang beredar, Melki memiliki elektabilitas 31,1%. Disusul Politikus Senior Demokrat Benny Kabur Harman 26,9%, Ansy Lema (24.9%), dan Kamlasy 2,1%.

"Kalau kita merujuk kepada hasil survei, walaupun masih individu, itu tingkat penerimaan publik cukup menguat antara Melki dan Ansy. Tapi bedanya Melki sudah permanen punya partai koalisi, sementara Ansy masih menjajaki kemungkinan. Saya kira dia punya bargaining berdasarkan hasil survei karena Emi tidak cukup kuat melawan Melki kecuali Ansy," kata Ahmad.

Kendati demikian, ada tingkat kesulitan tinggi yang harus dihadapi PDIP, NasDem, dan PKB. Ini mengingat tren KIM mengusung calon solid di pilgub mendatang. Ditambah lagi partai yang tersisa, yaitu Perindo dan PKS, masing-masing hanya punya satu kursi.

"Kalau umpamanya NasDem mampu merangkul PKB, maka PDIP out, tidak ada dan dia tidak punya kawan koalisi lagi karena semua sudah koalisi besar sudah ada di KIM. Ini kan sekarang ada perebutan, penentunya nanti di PKB ini untuk memunculkan figur baru," ujar Ahmad.

"Hitungan saya kemarin kalau umpamanya PKB diambil NasDem, maka PDIP out. Ansy juga out, Emilia juga out karena tidak cukup 13 kursi tadi. Tapi kalau PDIP yang mengambil PKB, maka NasDem out. Ini skenario pertama kalau umpamanya PKB diambil PDIP maka NasDem out. Skenario kedua PKB diambil NasDem, maka PDIP out," lanjutnya.

Apabila PKB juga turut bergabung ke dalam KIM, maka tersisa PDIP dan NasDem. Keduanya bisa berkoalisi dan dapat turut serta dalam pilgub karena sama-sama memiliki 9 kursi. "Maka posisi tawarnya adalah PDIP yang gubernur, maka NasDem yang wakil. Begitupun sebaliknya. Itu posisi sementara," kata Ahmad.



Head to head Ansy vs Melki?
Pria yang kini menjadi Staf Khusus Penjabat Gubernur NTT Bidang Sosial dan Politik itu menambahkan, pengelompokkan KIM di pilgub nanti juga menghadirkan kerumitan tersendiri. Perlu ada kesepakatan bersama lantaran partai besar anggota koalisi pasti ingin mendorong figur dari masing-masing partai.

"Ini kan mereka mesti menentukan pilihan figur yang menjadi wakil itu kan setidak-tidaknya datang dari basis politik elektoral yang bisa memastikan bahwa wakil itu datang membawa suara, tidak kelihatan kosong," ujar Ahmad.

Dia menjelaskan, konfigurasi Pilgub NTT itu berbasis ideologis (Protestan dan Katolik) dan berbasis teritorial (Flores dan Timor). Apabila nantinya Ansy direkomendasikan PDIP dan harus menghadapi Melki yang diusung KIM, maka mereka akan berebut 'ikan di kolam yang sama' karena mereka memiliki kesamaan ideologis (Katolik) dan teritorial (Ende, Flores).

Oleh karena itu, Ansy dan Melki akan berupaya menggaet cawagub beragama Protestan dan berasal dari Timor. Sebaliknya, jika PDIP merekomendasikan Emi (Protestan, Timor), maka cawagubnya sosok beragama Katolik dan berasal Flores.

"Sosoknya siapa? Sampai saat ini belum. Yang penting basis ideologis dan basis teritorial. Ini kan soal sentimen, ini kan soal identitas. Pilkada itu yang beroperasi bukan uang, itu hanya di pemilu, itu transaksional. Kalau di pilkada itu yang beroperasi politik identitas, kekuatan agama, kekuatan daerah, kekuatan suku, dan sebagainya," kata Ahmad.

Lebih lanjut, Ahmad menilai dinamika ke depan masih harus terus dicermati. Apalagi, sudah ada hasil survei yang dijadikan basis dalam pengambilan keputusan, termasuk untuk memasangkan cagub dan cawagub mendatang.

"Ibu Emi dari hasil survei itu tidak terlalu menguat sebagai cagub tapi dia menguat sebagai cawagub. Itu yang menarik. Figur sekarang hanya berputar pada Emi, Ansy, Melki, dan Petrus. Melki relatif aman karena sudah punya partai, sementara NasDem belum punya koalisi. PDIP belum punya koalisi dan belum memutuskan siapa yang didukung antara Emi atau Ansy," ujar Ahmad.

Lalu, apakah head to head Ansy dan Melki mungkin terjadi? Dia menilai kuncinya ada di PKB. "PKB mau ke mana? Dia mau ke NasDem atau dia mau ke PDIP? Karena Petrus sudah pegang rekomendasi dari NasDem. Itu yang saya bilang. Melki sudah relatif aman sementara Petrus aman dalam tanda petik karena belum ada mitra koalisi," ujar Ahmad.

"Ansy dengan Emi belum aman karena PDIP belum memutuskan. PDIP lambat mengambil sikap, NasDem bisa mengambil PKB. Itu artinya PDIP tidak ikut. Kecuali mereka mau menarik gerbong di KIM keluar. Sekarang kan ketika hasil survei keluar, dan Melki ada di posisi atas, ini kan pengelompokkan KIM menjadi wacana," lanjutnya.

Satu hal yang pasti, Ahmad mengatakan, Ansy dan Melki dari sisi figur sama-sama kuat. Mereka pun dikenal sebagai anggota DPR RI yang vokal memperjuangkan kepentingan NTT. "Tantangan memenangkannya ada di wakil. Kedua, soliditas partai koalisi. Mereka tidak boleh menciptakan friksi yang kemudian merugikan mereka. Kalau dari sisi figur saya kira tidak ada masalah," pungkas Ahmad.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular